JAKARTA, Tribunriau -Muhammad Al Khaththath mungkin tak akan lupa 31 Maret 2017 sebagai bagian dari sejarah hidupnya. Dia mengingatkan tanggal itu--sebagai momen penting--untuk orang lain dalam satu tayangan video di Youtube. Suaranya pelan, namun ada ketegasan di sana.
“Sekali lagi 31 Maret atau 313, kita berkumpul di Masjid Istiqlal …lalu menuju Istana Presiden,” kata Al Khaththath dalam video yang diunggah 27 Maret.
“Kita menuntut Presiden untuk mencopot Ahok dari jabatannya.”
Al Khaththath alias Gatot Saptono memakai peci putih dan berpakaian coklat saat itu. Telunjuk tangan kanannya beberapa kali muncul dalam video, mengesankan penegasan kalimat-kalimat yang dilontarkan.
Unjuk rasa kali ini dikenal sebagai Aksi 313.
Ini adalah aksi serupa yang pernah dilakukan sebelumnya macam Aksi 411 pada November 2016 atau Aksi 212 pada Februari lalu. Intinya juga serupa: mendesak pemerintah mencopot Ahok alias Basuki Tjahaja Purnama dari jabatannya sebagai gubernur DKI Jakarta. Ini berawal dari pernyataan Ahok soal pengutipan Al Maidah pada September 2016, yang memicu reaksi hingga akhirnya didakwa menista agama.
Tetapi, impian Al Khaththath untuk memimpin aksi pudar sudah. Dia ditangkap kepolisian dan akhirnya dijebloskan ke penjara (Hotel Prodeo, red) pada malam sebelum Aksi 313 dilakukan esok hari. Tuduhannya tak main-main: ingin menggulingkan pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla.
Al Khaththath juga dikenal sebagai Sekretaris Jenderal Forum Umat Islam. Dia sempat mencalonkan diri menjadi anggota legislatif melalui Partai Bulan Bintang (PBB) pada 2014 untuk Daerah Pemilihan III Jakarta. Saiful Mujani Research Consulting (SMRC) menyatakan Gatot alias Al Khaththath juga menjabat pada organisasi radikal lainnya: Hizbut Tahrir Indonesia.
“Khaththath diketahui memobilisasi pengikutnya untuk menghentikan pembangunan dan aktivitas gereja di sejumlah wilayah,” demikian SMRC. “Pada 2011, Khaththath mengumumkan Dewan Revolusi Islam. DRI yang mirip struktur pemerintahan itu sengaja disiapkan sebagai pemerintah pasca kejatuhan SBY jika tak kunjung membubarkan Ahmadiyah.”
Forum Umat Islam atau FUI memang menjadi salah satu organisasi yang diduga sering melakukan kekerasan atas nama agama.
Riset Setara Institute mencatat FUI kerap melakukan aksi kekerasan sebagai aktor non-negara sepanjang 2014 hingga 2016. Lembaga itu mencatat FUI bersama dengan 17 aktor lainnya, melakukan sejumlah tindakan macam penyesatan, intimidasi, ujaran kebencian hingga pembakaran properti.
“Lebih jauh lagi,” demikian Setara Institute, “Mereka memiliki kecenderungan menggunakan dogma keagamaan untuk memicu terjadinya pelanggaran kebebasan beragama.”
Lihat juga:Ma'ruf Amin Tak Bahas Penangkapan Al Khaththath dengan Jokowi
Setara juga mengkritik pemerintahan Jokowi yang tak menyelesaikan persoalan kekerasan berbasis agama. Lembaga itu menilai antara harapan dalam Nawa Cita milik Jokowi dengan kenyataan di lapangan, jauh panggang dari api.
Jokowi mungkin tak berpangku tangan. Dia bertemu KH Ma’aruf Amin, Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI), sehari sebelum Aksi 313 dimulai.
MUI sendiri sebelumnya terlibat dalam sejumlah Aksi Bela Islam—terkait dugaan penistaan agama oleh Ahok—setelah mengeluarkan Pendapat dan Sikap Keagamaan MUI pada Oktober 2016.
Sikap itu sendiri ditandatangani oleh Ma’ruf Amin dan Sekretaris Jenderal MUI Anwar Abbas. Intinya, pernyataan Ahok dianggap menghina Al Quran dan ulama, sehingga memiliki konsekuensi hukum.
Sikap ini pula yang memicu Aksi 411, Aksi 412, Aksi 212 hingga Aksi 313 seruan Al Khaththath. Gelombang anti-Ahok itu juga sempat didukung sejumlah organisasi dan individu dengan nama Gerakan Nasional Pengawal Fatwa (GNPF) MUI.
Namun, Ma’ruf justru mengkritik Aksi 313 yang diserukan Al Khaththath--salah satu pendukung Pendapat dan Sikap Keagamaan MUI. Hal itu terkait dengan dugaan untuk mengganggu pemerintahan Jokowi-JK.
“Saya kira itu ngawur dan tidak tepat,” kata Ma’ruf usai bertemu Presiden. “Negara ini keutuhannya harus dijaga.”
GNPF bisa jadi kian tenggelam dalam Aksi 313. MUI--sang pencetus sikap anti Ahok--juga tampak kian mesra dengan Presiden. Ma’ruf bahkan mengundang Presiden untuk hadir dalam Kongres Ekonomi Umat pada 22 April nanti.
Kemesraan pemerintah dan ulama, bisa jadi bukan hal baru sejak Presiden Soeharto. Human Rights Watch (HRW) mencatat pembentukan organisasi ulama sejak 1975 oleh Soeharto tersebut adalah untuk menjembatani antara pemimpin Muslim dengan negara. MUI juga dianggap memproduksi fatwa yang dijadikan dasar kebijakan pemerintah.
“Fatwa terkadang digunakan sebagai basis perubahan hukum atau kebijakan,” demikian riset HRW. “MUI juga mengeluarkan fatwa bagi pihak yang akhirnya diadili karena penodaan agama.”
Kini, Al Khaththath tinggal menunggu waktu. MUI--yang dulu sempat dibela GNPF--tampak mulai menjauh dalam Aksi 313. Polisi bahkan terkesan garang. Lembaga itu mengklaim pihaknya mengantongi bukti makar Al Khaththath terhadap Presiden Jokowi.
Dalam video seruan Aksi 313, pria itu menyerukan agar warga datang ke Jakarta untuk membela Allah, Nabi Muhammad dan Al Quran. “Kita bela Allah, kita bela Rasul, kita bela Al Quran,” kata dia. “Allah Akbar. Terima kasih, sampai jumpa.”
Tapi perjumpaan kali ini memang berbeda, setidaknya buat Al Khaththath. Batal beraksi di lapangan, dia harus berjumpa dengan pengacara hingga pendukungnya di Mako Brimob Kelapa Dua, Depok, Jawa Barat.
Dan bisa jadi, tanpa ada sokongan majelis ulama yang sempat dibelanya mati-matian. (cnnindonesia.com/boy surya hamta)