Indonesia adalah negara hukum sehingga Republik Indonesia berarti negara yang berasaskan hukum (rechtsstaat), bukan berdasarkan kekuasaan, (machtstaat), yang berarti pemerintahannya mesti berdasarkan konstitusi, tidak memiliki kekuasaan tidak terbatas.
Itu sebabnya, semua pihak harus menjunjung hukum sebagai landasan untuk meningkatkan kualitas berdemokrasi dan yang terpenting meningkatkan kesejahteraan rakyat seperti dijanjikan pasangan Presiden Joko Widodo dan Jusuf Kalla pada masa kampanye silam.
Namun sayangnya, harapan itu hingga kini belum sepenuhnya terwujud, lantaran pemerintah di masa lalu belum fokus pada pembentukan karakter dan arah politik hukum yang berpijak pada sendi-sendi Pancasila dan UUD 1945.
Rencana pembangunan Jangka Menengah (RPJM) 2009-2014, dipublikasi Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, pada Bab 9 soal pembenahan sistem dan politik hukum nasional, belum nyata betul pembentukan karakter hukum berlandaskan Pancasila. Masih terkesan adanya pengabaian nilai tersebut.
Disebutkan dalam RPJM itu, penegakan hukum dan ketertiban merupakan syarat utama menciptakan Indonesia lebih damai dan sejahtera. Penegakan hukum dilakukan guna menciptakan ketertiban dengan menekankan aspek hukum positifnya. Namun, penegakan hukum yang hanya menitikberatkan pada kepastian hukum, seperti disampaikan ahli hukum Hans Kelsen, tidak akan menjadikan Indonesia lebih sejahtera dan bermartabat.
Politik hukum ke depan tidak dapat hanya menyandarkan diri pada hukum positif atau hukum yang dikonstruksi menguntungkan para penguasa. Sehingga, penentuan orang salah dan benar tergantung dari justifikasi penegak hukum itu sendiri, apakah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Kepolisian, atau Kejaksaan. Dengan begitu, penegakan hukum di Indonesia, termasuk bidang pencegahan korupsi masih gagal, meski sudah ada Komisi pemberantasan Korupsi (KPK).
Menteri Hukum dan HAM Yassonna Hamonangan Laoly, di Jakarta pekan lalu, menyampaikan otokritik dari kegagalan reformasi hukum, khususnya dalam hal pencegahan korupsi.
Ia menyebut hasil survei dari Transparancy International menempatkan nilai Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia 3,4. Angka itu berada di peringkat 107 dari 175 negara yang disurvei. IPK rendah itu mengindikasikan Indonesia masih sejajar dengan negara yang, maaf, tingkat hukum dan peradabannya masih primitif, yakni masyarakat menjalankan hukum bukan karena kesadaran, tetapi karena takut dengan penguasa atau lembaga hukumnya.
Menurut Menteri, IPK itu menggambarkan masih belum tercapainya target RPJM 2009-2014, yakni berada di angka lima. Dalam ungkapan lain, pencapaiannya masih jauh dari nilai yang dikehendaki dalam Strategi Nasional Pemberantasan dan Pencegahan Korupsi, yaitu peringkat 40 besar.
Mengingat belum adanya kemajuan berarti dari nilai IPK itu, Presiden Joko Widodo tentu harus melakukan pembenahan atau penataan kembali tumpang tindihnya kelembagaan maupun penggantian para pimpinan di Kejaksaan dan Kepolisian yang belum mampu meningkatkan kinerja secara optimal. Pasalnya, Kejaksaan dan Kepolisan merupakan garda terdepan lembaga permanen yang mencegah dan memberantas korupsi, dibanding KPK.
Pakar hukum Romli Atmasasmita (2014) secara khusus memaparkan ketidakefektifan tiga lembaga pemberantasan korupsi yang gagal mengembalikan kerugian uang negara lantaran pendekatan hukum yang diterapkan semata-mata aspek jera, atau mengutamakan hukum positif.
Dalam kalimat lain, tindak itu hanya terikat pada teks dalam pasal KUHP atau UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi.
Menyoal kerugian negara selama lima tahun, yaitu 2007-2012, uang yang diselamatkan tidak lebih dari 50 persen dari total kerugian, sekitar Rp469 triliun, termasuk kerugian "illegal logging" dan "fishing". Bahkan, uang yang diselamatkan itu, jika dihitung biaya operasional dan perawatan para narapidana turut menghabiskan dana lebih besar dari jumlah uang yang disita.
Dengan demikian, pemerintah ke depan perlu menata ulang konstruksi hukum tidak lagi berbasis apek jera, tetapi juga mendatangkan aspek manfaat dan keberadaban.
Hukum belum prorakyat
Pemerintahan Jokowi, jika tidak ingin dinilai gagal melanjutkan agenda reformasi hukum, harus mampu mendorong pembentukan hukum pro rakyat, bukan "law against society". Persoalannya, pembuatan hukum di era reformasi ini agaknya lebih banyak dipengaruhi para pemilik modal yang justru anti rakyat.
Mereka memanfaatkan kebebasan yang kebablasan itu demi memperluas cengkraman kapitalisasi dan kekuasannya, sehingga tak usah heran jika banyak lahan pertanian tiba-tiba berubah menjadi lahan bisnis. Ujungnya, banyak petani kesulitan mencari lahan garapannya lantaran digempur sana-sini oleh kepentingan korporasi.
Joko Widodo yang dipersepsi sebagai pemimpin "pamomong kawulo alit" merupakan figur, diharapkan, hadir memberi pelayanan kepada rakyat kecil yang selama ini terabaikan keadilannya, sehingga sering tertindas.
Oleh karena itu, dalam penegakan hukum, pemerintah harus dapat mendorong untuk tidak menekankan pada aspek legalistiknya saja. Alasannya, hal itu terbukti gagal atau kurang optimal. Dalam konvensi PBB, diadopsi Indonesia, pendekatan hukum mestinya tidak represif, melainkan preventif dan restoratif.
Dengan begitu, para investor akan melihat kemajuan pelaksanaan hukum nasional, sehingga mereka akan mengapresiasi dan berbondong-bondong datang ke Indonesia. Meminjam pendapat mantan Dirut PT Kereta Api, Ignasius Jonan kala mengubah citra karyawan PT.KAI, "kita digaji oleh konsumen yang memakai kereta, jadi para pekerjanya harus ramah dalam memberikan pelayanan.".
Kiranya, makna kalimat itu perlu ditularkan ke semua instansi penyelenggara negara, sehingga tujuan menyejahterakan rakyat dapat terwujud.
Hal yang mesti direkam, jangan harap rakyat akan mengapresiasi kerja pemerintah, jika situasinya, penegakan hukum lemah, dan para pimpinan di pemerintahan tidak dapat dijadikan panutan bawahannya. Kabinet kerja harus menjadi suri teladan bagi semua sendi kehidupan di Indonesia. Panutan itu terbentuk lewat komitmen melayani masyarakat sebagai suatu keharusan. Selamat Tahun baru 2015, selamat bekerja lebih tenang, damai dan harmonis.
*Penulis Pengajar Fakultas Hukum Usahid Jakarta, tinggal di Jakarta.
Oleh: Dr Laksanto Utomo
Sumber AntaraNews